Konsep Dasar Pendidikan Seni Rupa
A. Pendidikan
Seni dalam
Kurikulum Sekolah
Seni kerajinan sebagai cabang seni rupa merupakan seni
yang tertua dan bahkan mengakar di setiap pelosok daerah Nusantara ini.
Perkembangan seni kerajinan tradisional ini diangkat menjadi prioritas karena
ternyata dunia pariwisata serta konsumsi kesenian dunia lebih tertarik terhadap
seni kerajinan tradisional yang berkembang di daerah. Selain seni kerajinan
tersebut unik, juga mencerminkan citra estetik khas daerah tertentu, dan
menjadi salah satu identitas budaya bangsa kita.
Perubahan nama sub-sub bidang studi pada setiap kurikulum
yang disempurnakan, ternyata perubahan itu tidak hanya sekedar penggantian
nama, akan tetapi mengubah pula ruang lingkup pengajarannya. Perubahan itu
dilandasi oleh konsep dasar pendidikan yang berbeda pada setiap kurikulum.
Konsep pendidikan seni yang sekarang kita kenal jauh berbeda dengan konsep
pendidikan (mata pelajaran) menggambar dan seni suara. Perubahan konsep tentu
membawa konsekuensi didaktis dan metodis yang menuntut berbagai persyaratan
yang harus dipenuhi jika kita ingin melaksanakan pendidikan seni dengan
memadai.
B. Sifat dan Domain (ranah) Pendidikan Seni
Sifat Pendidikan Seni
Pendidikan seni memiliki sifat:
a) Multidimensional,
Pendidikan seni mengembangkan kemampuan dasar manusia
dalam dimensi fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas
dan estetik (Victor Lowenfeld, 1984). Berbagai jenis kecerdasan manusia
(kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, kecerdasan kreatif, kecerdasan
moral, kecerdasan spitritual) mampu dioptimalkan melalui pendidikan.seni.
b) Multilingual,
Pendidikan seni mengembangkan kemampuan manusia dalam
berkomunikasi melalui bermacam ragam bahasa di samping bahasa verbal. Bahasa
yang dimaksud di sini adalah bahasa untuk berekspresi dan berkomunikasi secara
visual atau rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya. Selain itu, seni merupakan
bahasa rasa dan citra atau image.
c) Multikultural,
Seni, baik sebagai kreasi individu maupun kelompok,
merupakan bagian dan sekaligus cerminan dari suatu kebudayaan. Keragaman budaya
sekaligus pula menimbulkan daya tarik (karena jika seni itu seragam akan
membosankan). Pendidikan seni memupuk rasa persaudaraan dan saling menghargai
sesama manusia, serta menumbuhkan rasa bangga pada budaya yang dimiliki maupun
budaya orang lain. Penghargaan dan kebanggaan terhadap keragaman budaya
Nusantara merupakan salah satu tugas pendidikan seni. Dengan begitu maka seni
yang bersifat multikultural ini dapat pula dijadikan dasar pemersatu bangsa
Domain
(Dimensi Perilaku) dalam Pendidikan Seni
Kegiatan pendidikan di sekolah
hendaknya mencakup dan memperhatikan berbagai dimensi perilaku. Brent G. Wilson
(Bloom, 1975) mengemukakan tiga dimensi perilaku dari Bloom, yaitu : kognitif,
affektif dan psikomotorik menjadi tujuh dimensi perilaku seni yang meliputi :
Persepsi, Pengetahuan, Pemahaman, Analisis, Evaluasi, Apresiasi dan Produksi.
Ke tujuh dimensi perilaku seni ini
dapat dipadukan namun perlu ada fokus pembelajaran agar penyusunan rencana
pengajarannya dapat menggambarkan distribusi pengembangan masing-masing aspek.
Keseluruhan aspek dalam dimensi perilaku seni ini perlu dilatihkan pada
siswa secara bersinambungan sejak awal. Perbedaan penekanan dalam pengembangan
perilaku ini perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan seni sehingga
proporsi bobot dari setiap aspek yang perlu dicapai akan berbeda
C. Seni sebagai Media Pendidikan
Kegiatan
bermain merupakan kegiatan jasmani dan rohani yang penting untuk diperhatikan
oleh pendidik (dan orang dewasa). Sebagian besar perkembangan kepribadian anak,
misalnya sikap mental, emosional, kreativitas, estetika, sosial dan fisik,
dibentuk oleh kegiatan permainannya.
Permainan anak-anak yang bernilai edukatif dapat
dilakukan melalui kegiatan seni, khususnya seni rupa. Pengertian seni pada
dasarnya adalah permainan
yang memberikan kesenangan batin (rohani), baik bagi yang berkarya seni
maupun bagi yang menikmatinya (Rohidi, 1985:81). Keterkaitan seni dengan
permainan juga dijelaskan oleh Ross (1978). Salah satu kegiatan seni rupa,
sebagai permainan, yang sangat disukai anak-anak ialah kegiatan menggambar.
Hampir setiap anak yang diberi alat tulis akan menggoreskannya pada bidang
kosong. Jika diberi kertas, dia akan menggoreskannya pada kertas dengan sesuka
hati. Jika tidak diberikan kertas, dia akan mencoretkannya pada dinding atau
lantai rumah. Keasyikan menggambar anak-anak itu merupakan bukti bahwa
menggambar baginya sangat memuaskan dan menyenangkan perasaan. Menggambar bagi
anak-anak dapat juga menjadi alat berkomunikasi dan berekspresi yang utuh
sesuai dengan dunianya.
Anak-anak
yang penalarannya belum berkembang sangat bergairah berkarya seni, karena
kegiatan ini memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi anak-anak untuk
mengungkapkan perasaan atau berekspresi. Ketika penalarannya bangkit, seni
harus dipersiapkan untuk memberikan jalan bagi ekspresi tersebut sebagai
kegiatan yang mereka senangi (Read, 1970:283). Dalam konteks itulah seni
dijadikan media pendidikan. Faedah pendidikan seni, sebagaimana dikemukakan
Vincent Lanier (1969) adalah:
a. memberikan kontribusi terhadap
perkembangan individu,
b. memberikan pengalaman yang
berharga (pengalaman estetik),
c. sebagai bagian yang penting dari
kebudayaan.
Jika pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan
orang dewasa dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaannya, maka tentunya
pula seni rupa dapat digunakan sebagai cara dan sekaligus media untuk mendidik
anak. Jadi makna pendidikan dengan menggunakan seni rupa sebagai cara dan
sekaligus sebagai sarananya. Pada bagian ini perlu dijelaskan perbedaan makna
antara pendidikan seni rupa dengan pengajaran seni rupa agar tidak sampai
menimbulkan kesalahtafsiran dalam penggunaan istilah tersebut.
Istilah seni sebagai media pendidikan tidak berarti bahwa
kegiatan seninya tidak penting (karena dianggap hanya sekedar media).
Keterlibatan siswa dengan seni tetaplah harus menjadi prioritas dalam rangka
membentuk kemampuan seni atau meningkatkan kemampuan seni yang sudah ada pada
diri para siswa. Upaya peningkatan kualitas belajar menjadi fokus kegiatan; dan
ini berlaku umum dalam program belajar apa pun.
Pendidikan seni rupa bukan sekedar kegiatan rutin,
sekedar untuk mengisi jam pelajaran yang tersedia. Siswa harus merasa bahwa
dari kegiatan-kegiatan kesenirupaan di sekolah, ada hasil nyata yang dia
perloleh, ada peningakatan atau kemajuan yang ia capai, dari tidak tahu menjadi
tahu, dari kurang senang menjadi senang, dari tidak terampil menjadi lebih
terampil, dari kurang bisa menata menjadi lebih bisa menata, dari kurang bisa
membedakan menjadi lebih bisa membedakan (berbagai hal yang menyangkut
kesenirupaan). Secara kodrati, kita semua, khususnya para siswa, tentu tidak
menyukai kegiatan remeh-temeh, kegiatan yang tidak berkualitas, yang hanya
membuang-buang waktu.
D. Pendekatan Berbasis Disiplin Ilmu dalam Pendidikan Seni
Rupa
Pendekatan seni rupa berbasis disiplin ilmu (dicipline
based art education, disingkat DBAE) berintikan pemikiran bahwa seni telah
hadir dalam kehidupan bukan hanya sebagai kegiatan penciptaan, tetapi juga
sebagai cabang pengetahuan yang menjadi bahan kajian filosofis maupun
ilmiah dan berhak dipelajari di lembaga pendidikan. Seni adalah disiplin
ilmu yang khas dengan karakter yang dimilikinya, mendapat dukungan kelompok
ilmuwan, dikembangkan melalui penelitian.
Pendukung Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin
berpendapat bahwa pendidikan seni rupa yang memberikan kesempatan kepada anak
untuk mengekspresikan emosinya adalah penting, tetapi jangan sampai mengabaikan
kegiatan mempelajari aspek pengetahuan keilmuannya. Cakupan pendidikan seni
rupa perlu diperluas. Eisner (1987/1988) menegaskan bahwa Pendidikan Seni Rupa
Berbasis Disiplin bertujuan untuk menawarkan program pembelajaran yang
sistematik dan berkelanjutan dalam empat bidang seni rupa yang lazim dalam kenyataan
yaitu bidang penciptaan, penikmatan, pemahaman, dan penilaian. Keempat
bidang tadi disampaikan dalam kegiatan belajar: produksl seni rupa, kritik seni
rupa, sejarah seni rupa dan estetika. Anak hendaknya tidak hanya diberi
kesempatan untuk berekspresi/ menciptakan karya seni rupa tetapi juga perlu
mempelajari bagaimana caranya menikmati suatu karya seni rupa serta memahami
konteks dari sebuah karya seni rupa dari berbagal masa. Pelaksanaannya tidak
harus terpisah tetapi dapat dipadukan.
Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin merupakan suatu
pendekatan dan bukan merupakan suatu metode yang spesifik, maka wujud
penampilannya dapat yang bervariasi. Yang jelas, sasarannya adalah adanya
peningkatan kemampuan anak dalam berbagai bidang kegiatan tersebut.
E. Pendekatan Kompetensi dalam Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan
kompetensi sering dianggap sebagai reaksi atas pendekatan yang mengacu kepada
materi (termasuk DBAE ?). Tetapi jika direnungkan sebetulnya arahnya sejalan,
karena materi yang dipilih pada dasarnya dijabarkan dari kompetensi yang
diharapkan. Bedanya, pada pendekatan kompetensi terlebih dahulu yang ditetapkan
adalah kompetensinya.
.
Inti pandangannya adalah bahwa setiap bahan ajar yang dipilih serta metode dan
media yang digunakan harus diarahkan kepada pembentukan kompetensi siswa. Untuk
setiap jenjang pendidikan, perlu ditetapkan kompetensi apa yang harus
dikembangkan. Gagasan ini tampaknya didorong oleh hasrat perlunya menyiapkan
sejak dini pembentukan SDM yang memiliki kemampuan handal, kompetitif,
khususnya menghadapi persaingan global masa depan. Dalam bidang seni, pendekatan
kompetensi menjadi bahan pembahasan dan disepakati sebagai acuan bagi
penyelenggaraan pembelajaran seni di Indonesia. Konsep dasar pendekatan
kompetensi adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar-mengajar,
dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah
(Puskur-Balitbang Depdiknas, 2002).
Implikasi pendekatan kompetensi dalam aspek pelaksanaan
adalah bahwa kegiatan belajar-mengajar terarah kepada suatu sasaran yang
berbentuk kompetensi siswa setelah mengikuti suatu program dalam limit waktu
tertentu. Pembelajaran tidak asal berlangsung, tapi terkontrol, bertahap,
berkelanjutan. Ekspresi-kreasi sukar diduga, sukar diukur, sukar dilatih,
karena dorongannya ada di dalam diri individu. Dalam hal ini, ukuran-ukuran
kompetensi tak bisa lain kecuali bersifat fleksibel, multikriteria
dan kualitatif, seperti terungkap dari kata-kata:―siswa memiliki kemampuan
berapresiasi…,dst. Pendekatan DBAE maupun pendekatan kompetensi sama-sama
memiliki harapan agar pembelajaran itu berkualitas dan bermakna, tidak sekedar
merasa cukup jika siswa ramai-ramai berkarya, tetapi karyanya itu-itu juga dari
waktu ke waktu baik dalam tema, bentuk maupun gagasan.
F.
Pendidikan
Seni Rupa sebagai Pendidikan Kreativitas dan Emosi
Kreativitas
Pendidikan seni mempunyai kontribusi terhadap
pengembangan individu antara membantu pengembangan mental, emosional,
kreativitas, estetika, sosial, dan fisik. Aspek kreativitas mempunyai peranan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pembinaan kreativitas manusia
sebaiknya dilakukan sejak anak-anak. Kondisi lingkungan yang kreatif dan
tersedianya kesempatan melakukan berbagai kegiatan kreatif bagi anak-anak akan
sangat membantu dalam mengembangkan budaya kreativitasnya.
Perlu dingat bahwa dunia anak-anak merupakan awal
perkembangan kreativitasnya.
Pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun merupakan the golden age
of creative expression. Ekspresi artistik merupakan salah satu kebutuhan
anak-anak, oleh karena itu kebebasan berkarya dengan berbagai media dan metode
pada kegiatan seni anak-anak menjadi pendekatan utama dalam pendidikan seni
rupa. Ruang lingkup bahan pengajaran Pendidikan Seni Rupa bagi anak-anak TK dan
SD meliputi kegiatan berkarya dua dimensional dan tiga dimensional. Kegiatan
menggambar, mencetak, menempel, dan kegiatan berkarya seni rupa dua dimensional
lainnya yang menyenangkan anak dengan media dan cara-cara yang sederhana dapat
dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Juga kegiatan mematung,
membentuk, merangkai, dan menyusun dari berbagai media dan dengan cara-cara
yang menyenangkan anak akan membantu pengembangan kreativitasnya.
Emosi
Pentingnya pendidikan emosi telah diungkapkan para ahli
pendidikan sejak lama. Fransesco (1958), seorang ahli pendidikan seni rupa
mengemukakan tugas pendidikan seni rupa antara lain sebagai penghalus rasa dan
pendidikan emosi. Dikemukakan, penguasaan emosi sangatlah penting, khususnya
pada manusia di zaman modern. Dalam seni, emosi disalurkan ke dalam wujud yang
memiliki nilai ekspresi-komunikasi. Kegiatan penguasaan dan penyaluran ekspresi
tadi menjadi dinamis dan bersemangat.
Psikologi telah mempelajari bahwa otak memainkan peranan
dalam berbagai kegiatan manusia dalam fungsi-fungsi: kognitif, afektif
(emosional, sosial), fisik (gerak) dan intuitif (Clark, dalam Hanna
Widjaja,1996). Jadi untuk mencapai perkembangan integral, semua fungsi ini
perlu dikembangkan. Ditengarai, bahwa dalam kehidupan nyata, banyak persoalan
yang dipecahkan secara jitu dengan menggunakan kecerdasan emosi yang sering kali
mendahului berjalannya kecerdasan rasio (intelijen). Orang sering membedakan
antara tindakan yang menggunakan otak dan hati. Mungkin sekali, nenek moyang
kita zaman dahulu banyak mengaktifkan kecerdasan emosi dalam menghadapi
tantangan lingkungannya. Pendidikan seni rupa yang banyak melibatkan emosi,
intuisi dan imajinasi dapat dijadikan salah satu cara yang tepat untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Lebih jauh lagi, pendidikan seni dapat juga
menjadi semacam penyembuh (therapy) atau penyehat mental dalam hal
tercapainya kepuasan dan keberanian baru. Cara yang efektif untuk pendidikan
emosi adalah memberi peluang dan stimulasi yang memungkinkan para siswa dapat
bekerja dengan rasa aman serta penuh percaya diri. (Fransesco, 1958).
G. Pendidikan Seni Rupa dan Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan (UURI No.2 tahun 1989 Bab II Pasal 4). Pendidikan
seni sebagai bagian dari Pendidikan Nasional, seyogyanya memperhatikan makna
yang terkandung dalam pernyataan di atas dan berupaya untuk dapat menunjang
pelaksanaannya.
Seni dapat menghaluskan rasa, dan mengembangkan daya cipta, serta mencintai
kebudayaan nasional, bahkan menghargai hasil-hasil kebudayan/kesenian dari
bangsa manapun. Hal ini diperlukan dalam rangka menghadapi kehidupan yang
semakin kompleks, yang ditandai dengan arus globalisasi akibat ledakan
teknologi komunikasi.
H. Peranan Guru Seni Rupa
Setiap guru seni perlu memahami kepemipinan bagaimana dan
tanggung jawab apa yang dituntut para siswa serta bimbingan mana yang dapat
memberi inspirasi kepada mereka; apa yang boleh dan yang tidak boleh dia
lakukan. Di ruangan kelas, setiap saat guru senantiasa diperlukan para
siswanya.
Peran kunci guru seni, tidak lagi terletak pada
mengajarkan kepada siswa bagaimana cara menggambar, atau memberikan contoh
gambar untuk ditiru siswa, tetapi lebih terfokus kepada penciptaan iklim
belajar yang menunjang, suasana yang akrab serta adanya penerimaan guru atas
pribadi para siswa yang beraneka ragam dengan karya dan gagasan mereka yang
bervariasi pula. Dalam keseluruhan penyelenggaraan kegiatan seni di sekolah,
peranan guru adalah memberi inspirasi, memberi kejelasan/klarifikasi, membantu
menerjemahkan gagasan perasaan dan reaksi siswa ke dalam bentuk-bentuk karya
seni yang terorganisasi secara estetis (Jefferson, 1969); atau, menciptakan
iklim yang menunjang bagi kegiatan ―menemukan, ―eksplorasi dan ―produksi.
Peranan ini dapat dimainkan guru, baik pada saat awal ataupun di tengah
pelajaran sedang berlangsung. Tentu saja, untuk dapat berperan seperti ini guru
seni perlu ―mengasah kepekaan rasa seninya secara memadai, melalui kegiatan
belajar yang terus-menerus (belajar bisa diartikan: mengamati, menghayati,
mengkaji atau berkarya).
Tugas-tugas guru paling sedikit meliputi lima kegiatan penting, yaitu: (1)
merancang, (2) memotivasi, (3) membimbing, (4) mengevaluasi, dan (5)
menyelenggarakan pameran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar