Search

Selasa, 24 Juli 2012

Konsep Dasar Pendidikan Seni Rupa

A.  Pendidikan Seni dalam Kurikulum Sekolah
Seni kerajinan sebagai cabang seni rupa merupakan seni yang tertua dan bahkan mengakar di setiap pelosok daerah Nusantara ini. Perkembangan seni kerajinan tradisional ini diangkat menjadi prioritas karena ternyata dunia pariwisata serta konsumsi kesenian dunia lebih tertarik terhadap seni kerajinan tradisional yang berkembang di daerah. Selain seni kerajinan tersebut unik, juga mencerminkan citra estetik khas daerah tertentu, dan menjadi salah satu identitas budaya bangsa kita.
Perubahan nama sub-sub bidang studi pada setiap kurikulum yang disempurnakan, ternyata perubahan itu tidak hanya sekedar penggantian nama, akan tetapi mengubah pula ruang lingkup pengajarannya. Perubahan itu dilandasi oleh konsep dasar pendidikan yang berbeda pada setiap kurikulum. Konsep pendidikan seni yang sekarang kita kenal jauh berbeda dengan konsep pendidikan (mata pelajaran) menggambar dan seni suara. Perubahan konsep tentu membawa konsekuensi didaktis dan metodis yang menuntut berbagai persyaratan yang harus dipenuhi jika kita ingin melaksanakan pendidikan seni dengan memadai.
B.  Sifat dan Domain (ranah) Pendidikan Seni
*   Sifat Pendidikan Seni
Pendidikan seni memiliki sifat:
a)    Multidimensional, Pendidikan seni mengembangkan kemampuan dasar manusia dalam dimensi fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (Victor Lowenfeld, 1984). Berbagai jenis kecerdasan manusia (kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, kecerdasan kreatif, kecerdasan moral, kecerdasan spitritual) mampu dioptimalkan melalui pendidikan.seni.
b)   Multilingual, Pendidikan seni mengembangkan kemampuan manusia dalam berkomunikasi melalui bermacam ragam bahasa di samping bahasa verbal. Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa untuk berekspresi dan berkomunikasi secara visual atau rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya. Selain itu, seni merupakan bahasa rasa dan citra atau image.
c)    Multikultural, Seni, baik sebagai kreasi individu maupun kelompok, merupakan bagian dan sekaligus cerminan dari suatu kebudayaan. Keragaman budaya sekaligus pula menimbulkan daya tarik (karena jika seni itu seragam akan membosankan). Pendidikan seni memupuk rasa persaudaraan dan saling menghargai sesama manusia, serta menumbuhkan rasa bangga pada budaya yang dimiliki maupun budaya orang lain. Penghargaan dan kebanggaan terhadap keragaman budaya Nusantara merupakan salah satu tugas pendidikan seni. Dengan begitu maka seni yang bersifat multikultural ini dapat pula dijadikan dasar pemersatu bangsa
*   Domain (Dimensi Perilaku) dalam Pendidikan Seni
Kegiatan pendidikan di sekolah hendaknya mencakup dan memperhatikan berbagai dimensi perilaku. Brent G. Wilson (Bloom, 1975) mengemukakan tiga dimensi perilaku dari Bloom, yaitu : kognitif, affektif dan psikomotorik menjadi tujuh dimensi perilaku seni yang meliputi : Persepsi, Pengetahuan, Pemahaman, Analisis, Evaluasi, Apresiasi dan Produksi. Ke tujuh dimensi perilaku seni ini dapat dipadukan namun perlu ada fokus pembelajaran agar penyusunan rencana pengajarannya dapat menggambarkan distribusi pengembangan masing-masing aspek. Keseluruhan aspek dalam dimensi perilaku seni ini perlu dilatihkan pada siswa secara bersinambungan sejak awal. Perbedaan penekanan dalam pengembangan perilaku ini perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan seni sehingga proporsi bobot dari setiap aspek yang perlu dicapai akan berbeda
C.  Seni sebagai Media Pendidikan
Kegiatan bermain merupakan kegiatan jasmani dan rohani yang penting untuk diperhatikan oleh pendidik (dan orang dewasa). Sebagian besar perkembangan kepribadian anak, misalnya sikap mental, emosional, kreativitas, estetika, sosial dan fisik, dibentuk oleh kegiatan permainannya.
Permainan anak-anak yang bernilai edukatif dapat dilakukan melalui kegiatan seni, khususnya seni rupa. Pengertian seni pada dasarnya adalah permainan yang memberikan kesenangan batin (rohani), baik bagi yang berkarya seni maupun bagi yang menikmatinya (Rohidi, 1985:81). Keterkaitan seni dengan permainan juga dijelaskan oleh Ross (1978). Salah satu kegiatan seni rupa, sebagai permainan, yang sangat disukai anak-anak ialah kegiatan menggambar. Hampir setiap anak yang diberi alat tulis akan menggoreskannya pada bidang kosong. Jika diberi kertas, dia akan menggoreskannya pada kertas dengan sesuka hati. Jika tidak diberikan kertas, dia akan mencoretkannya pada dinding atau lantai rumah. Keasyikan menggambar anak-anak itu merupakan bukti bahwa menggambar baginya sangat memuaskan dan menyenangkan perasaan. Menggambar bagi anak-anak dapat juga menjadi alat berkomunikasi dan berekspresi yang utuh sesuai dengan dunianya.
Anak-anak yang penalarannya belum berkembang sangat bergairah berkarya seni, karena kegiatan ini memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan atau berekspresi. Ketika penalarannya bangkit, seni harus dipersiapkan untuk memberikan jalan bagi ekspresi tersebut sebagai kegiatan yang mereka senangi (Read, 1970:283). Dalam konteks itulah seni dijadikan media pendidikan. Faedah pendidikan seni, sebagaimana dikemukakan Vincent Lanier (1969) adalah:
a.    memberikan kontribusi terhadap perkembangan individu,
b.    memberikan pengalaman yang berharga (pengalaman estetik),
c.    sebagai bagian yang penting dari kebudayaan.
Jika pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan orang dewasa dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaannya, maka tentunya pula seni rupa dapat digunakan sebagai cara dan sekaligus media untuk mendidik anak. Jadi makna pendidikan dengan menggunakan seni rupa sebagai cara dan sekaligus sebagai sarananya. Pada bagian ini perlu dijelaskan perbedaan makna antara pendidikan seni rupa dengan pengajaran seni rupa agar tidak sampai menimbulkan kesalahtafsiran dalam penggunaan istilah tersebut.
Istilah seni sebagai media pendidikan tidak berarti bahwa kegiatan seninya tidak penting (karena dianggap hanya sekedar media). Keterlibatan siswa dengan seni tetaplah harus menjadi prioritas dalam rangka membentuk kemampuan seni atau meningkatkan kemampuan seni yang sudah ada pada diri para siswa. Upaya peningkatan kualitas belajar menjadi fokus kegiatan; dan ini berlaku umum dalam program belajar apa pun.
Pendidikan seni rupa bukan sekedar kegiatan rutin, sekedar untuk mengisi jam pelajaran yang tersedia. Siswa harus merasa bahwa dari kegiatan-kegiatan kesenirupaan di sekolah, ada hasil nyata yang dia perloleh, ada peningakatan atau kemajuan yang ia capai, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kurang senang menjadi senang, dari tidak terampil menjadi lebih terampil, dari kurang bisa menata menjadi lebih bisa menata, dari kurang bisa membedakan menjadi lebih bisa membedakan (berbagai hal yang menyangkut kesenirupaan). Secara kodrati, kita semua, khususnya para siswa, tentu tidak menyukai kegiatan remeh-temeh, kegiatan yang tidak berkualitas, yang hanya membuang-buang waktu.
D.  Pendekatan Berbasis Disiplin Ilmu dalam Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan seni rupa berbasis disiplin ilmu (dicipline based art education, disingkat DBAE) berintikan pemikiran bahwa seni telah hadir dalam kehidupan bukan hanya sebagai kegiatan penciptaan, tetapi juga sebagai cabang pengetahuan yang menjadi bahan kajian filosofis maupun ilmiah dan berhak dipelajari di lembaga pendidikan. Seni adalah disiplin ilmu yang khas dengan karakter yang dimilikinya, mendapat dukungan kelompok ilmuwan, dikembangkan melalui penelitian.
Pendukung Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin berpendapat bahwa pendidikan seni rupa yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan emosinya adalah penting, tetapi jangan sampai mengabaikan kegiatan mempelajari aspek pengetahuan keilmuannya. Cakupan pendidikan seni rupa perlu diperluas. Eisner (1987/1988) menegaskan bahwa Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin bertujuan untuk menawarkan program pembelajaran yang sistematik dan berkelanjutan dalam empat bidang seni rupa yang lazim dalam kenyataan yaitu bidang penciptaan, penikmatan, pemahaman, dan penilaian. Keempat bidang tadi disampaikan dalam kegiatan belajar: produksl seni rupa, kritik seni rupa, sejarah seni rupa dan estetika. Anak hendaknya tidak hanya diberi kesempatan untuk berekspresi/ menciptakan karya seni rupa tetapi juga perlu mempelajari bagaimana caranya menikmati suatu karya seni rupa serta memahami konteks dari sebuah karya seni rupa dari berbagal masa. Pelaksanaannya tidak harus terpisah tetapi dapat dipadukan.
Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin merupakan suatu pendekatan dan bukan merupakan suatu metode yang spesifik, maka wujud penampilannya dapat yang bervariasi. Yang jelas, sasarannya adalah adanya peningkatan kemampuan anak dalam berbagai bidang kegiatan tersebut.
E.  Pendekatan Kompetensi dalam Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan kompetensi sering dianggap sebagai reaksi atas pendekatan yang mengacu kepada materi (termasuk DBAE ?). Tetapi jika direnungkan sebetulnya arahnya sejalan, karena materi yang dipilih pada dasarnya dijabarkan dari kompetensi yang diharapkan. Bedanya, pada pendekatan kompetensi terlebih dahulu yang ditetapkan adalah kompetensinya.
. Inti pandangannya adalah bahwa setiap bahan ajar yang dipilih serta metode dan media yang digunakan harus diarahkan kepada pembentukan kompetensi siswa. Untuk setiap jenjang pendidikan, perlu ditetapkan kompetensi apa yang harus dikembangkan. Gagasan ini tampaknya didorong oleh hasrat perlunya menyiapkan sejak dini pembentukan SDM yang memiliki kemampuan handal, kompetitif, khususnya menghadapi persaingan global masa depan. Dalam bidang seni, pendekatan kompetensi menjadi bahan pembahasan dan disepakati sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembelajaran seni di Indonesia. Konsep dasar pendekatan kompetensi adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Puskur-Balitbang Depdiknas, 2002).
Implikasi pendekatan kompetensi dalam aspek pelaksanaan adalah bahwa kegiatan belajar-mengajar terarah kepada suatu sasaran yang berbentuk kompetensi siswa setelah mengikuti suatu program dalam limit waktu tertentu. Pembelajaran tidak asal berlangsung, tapi terkontrol, bertahap, berkelanjutan. Ekspresi-kreasi sukar diduga, sukar diukur, sukar dilatih, karena dorongannya ada di dalam diri individu. Dalam hal ini, ukuran-ukuran kompetensi tak bisa lain kecuali bersifat fleksibel, multikriteria dan kualitatif, seperti terungkap dari kata-kata:―siswa memiliki kemampuan berapresiasi…,dst. Pendekatan DBAE maupun pendekatan kompetensi sama-sama memiliki harapan agar pembelajaran itu berkualitas dan bermakna, tidak sekedar merasa cukup jika siswa ramai-ramai berkarya, tetapi karyanya itu-itu juga dari waktu ke waktu baik dalam tema, bentuk maupun gagasan.
F.   Pendidikan Seni Rupa sebagai Pendidikan Kreativitas dan Emosi
*   Kreativitas
Pendidikan seni mempunyai kontribusi terhadap pengembangan individu antara membantu pengembangan mental, emosional, kreativitas, estetika, sosial, dan fisik. Aspek kreativitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pembinaan kreativitas manusia sebaiknya dilakukan sejak anak-anak. Kondisi lingkungan yang kreatif dan tersedianya kesempatan melakukan berbagai kegiatan kreatif bagi anak-anak akan sangat membantu dalam mengembangkan budaya kreativitasnya.
Perlu dingat bahwa dunia anak-anak merupakan awal perkembangan kreativitasnya. Pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun merupakan the golden age of creative expression. Ekspresi artistik merupakan salah satu kebutuhan anak-anak, oleh karena itu kebebasan berkarya dengan berbagai media dan metode pada kegiatan seni anak-anak menjadi pendekatan utama dalam pendidikan seni rupa. Ruang lingkup bahan pengajaran Pendidikan Seni Rupa bagi anak-anak TK dan SD meliputi kegiatan berkarya dua dimensional dan tiga dimensional. Kegiatan menggambar, mencetak, menempel, dan kegiatan berkarya seni rupa dua dimensional lainnya yang menyenangkan anak dengan media dan cara-cara yang sederhana dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Juga kegiatan mematung, membentuk, merangkai, dan menyusun dari berbagai media dan dengan cara-cara yang menyenangkan anak akan membantu pengembangan kreativitasnya.
*   Emosi
Pentingnya pendidikan emosi telah diungkapkan para ahli pendidikan sejak lama. Fransesco (1958), seorang ahli pendidikan seni rupa mengemukakan tugas pendidikan seni rupa antara lain sebagai penghalus rasa dan pendidikan emosi. Dikemukakan, penguasaan emosi sangatlah penting, khususnya pada manusia di zaman modern. Dalam seni, emosi disalurkan ke dalam wujud yang memiliki nilai ekspresi-komunikasi. Kegiatan penguasaan dan penyaluran ekspresi tadi menjadi dinamis dan bersemangat.
Psikologi telah mempelajari bahwa otak memainkan peranan dalam berbagai kegiatan manusia dalam fungsi-fungsi: kognitif, afektif (emosional, sosial), fisik (gerak) dan intuitif (Clark, dalam Hanna Widjaja,1996). Jadi untuk mencapai perkembangan integral, semua fungsi ini perlu dikembangkan. Ditengarai, bahwa dalam kehidupan nyata, banyak persoalan yang dipecahkan secara jitu dengan menggunakan kecerdasan emosi yang sering kali mendahului berjalannya kecerdasan rasio (intelijen). Orang sering membedakan antara tindakan yang menggunakan otak dan hati. Mungkin sekali, nenek moyang kita zaman dahulu banyak mengaktifkan kecerdasan emosi dalam menghadapi tantangan lingkungannya. Pendidikan seni rupa yang banyak melibatkan emosi, intuisi dan imajinasi dapat dijadikan salah satu cara yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Lebih jauh lagi, pendidikan seni dapat juga menjadi semacam penyembuh (therapy) atau penyehat mental dalam hal tercapainya kepuasan dan keberanian baru. Cara yang efektif untuk pendidikan emosi adalah memberi peluang dan stimulasi yang memungkinkan para siswa dapat bekerja dengan rasa aman serta penuh percaya diri. (Fransesco, 1958).
G.  Pendidikan Seni Rupa dan Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UURI No.2 tahun 1989 Bab II Pasal 4). Pendidikan seni sebagai bagian dari Pendidikan Nasional, seyogyanya memperhatikan makna yang terkandung dalam pernyataan di atas dan berupaya untuk dapat menunjang pelaksanaannya. Seni dapat menghaluskan rasa, dan mengembangkan daya cipta, serta mencintai kebudayaan nasional, bahkan menghargai hasil-hasil kebudayan/kesenian dari bangsa manapun. Hal ini diperlukan dalam rangka menghadapi kehidupan yang semakin kompleks, yang ditandai dengan arus globalisasi akibat ledakan teknologi komunikasi.
H.  Peranan Guru Seni Rupa
Setiap guru seni perlu memahami kepemipinan bagaimana dan tanggung jawab apa yang dituntut para siswa serta bimbingan mana yang dapat memberi inspirasi kepada mereka; apa yang boleh dan yang tidak boleh dia lakukan. Di ruangan kelas, setiap saat guru senantiasa diperlukan para siswanya.
Peran kunci guru seni, tidak lagi terletak pada mengajarkan kepada siswa bagaimana cara menggambar, atau memberikan contoh gambar untuk ditiru siswa, tetapi lebih terfokus kepada penciptaan iklim belajar yang menunjang, suasana yang akrab serta adanya penerimaan guru atas pribadi para siswa yang beraneka ragam dengan karya dan gagasan mereka yang bervariasi pula. Dalam keseluruhan penyelenggaraan kegiatan seni di sekolah, peranan guru adalah memberi inspirasi, memberi kejelasan/klarifikasi, membantu menerjemahkan gagasan perasaan dan reaksi siswa ke dalam bentuk-bentuk karya seni yang terorganisasi secara estetis (Jefferson, 1969); atau, menciptakan iklim yang menunjang bagi kegiatan ―menemukan, ―eksplorasi dan ―produksi. Peranan ini dapat dimainkan guru, baik pada saat awal ataupun di tengah pelajaran sedang berlangsung. Tentu saja, untuk dapat berperan seperti ini guru seni perlu ―mengasah kepekaan rasa seninya secara memadai, melalui kegiatan belajar yang terus-menerus (belajar bisa diartikan: mengamati, menghayati, mengkaji atau berkarya). Tugas-tugas guru paling sedikit meliputi lima kegiatan penting, yaitu: (1) merancang, (2) memotivasi, (3) membimbing, (4) mengevaluasi, dan (5) menyelenggarakan pameran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar